TAPUNG -(auranews.id)- Suport dan dukungan pemimpin bisa membuat petani menjadi sukses, buktinya petani di desa Lembu Makmur, Kecamatan Tapung, Sumardi berhasil membeli satu unit mobil Fortuner baru dengan hasil pertaniannya.
Pelan tapi pasti, masyarakat Sei Lembu Makmur mulai melepas ketergantungan pada sawit. Satu-persatu dari mereka mengalihkan fungsi kebun sawit yang sudah ditumbangkan menjadi lahan pertanian. Hampir tanpa bantuan pemerintah, mereka sukses.
Mendapatkan kesempatan berkunjung ke Desa Sei Lembu Makmur, Kecamatan Tapung. Desa eks transmigrasi yang baru berdiri pada tahun 1995 ini sedang serius mengembangkan usaha pertanian, khususnya holtikultura. Pada siang terik yang menyengat pada Selasa (8/10) itu, awak media difasilitasi Kepala Desa (Kades) Sei Lembu Makmur Kawit Hudi Antoro untuk bertemu salah satu ketua kelompok tani yang baru dibentuk disana.
Hari itu kami mengunjungi rumah Sumardi, Ketua Kelompok Tani Makmur yang baru berdiri pada 2016 lalu. Untuk ukuran rumah yang jauh dari pusat kota, rumah milik Sumardi cukup megah. Bahkan ketika Kades membuka ”paksa” garasi rumah itu, sebuah Fortuner mewah terparkir disana. Sumardi tidak menampik, mobil mewah itu merupakan hasil dari ketekunannya bertani cabai.
Pengalaman bertani cabai Sumardi memang bukan sehari dua. Dirinya sudah berjuang menanam cabai melawan musim dan suhu ekstrim lebih dari 10 tahun. Kini, sejak 2016, tanaman cabai yang memang tidak bisa tumbuh sepanjang tahun, ditumpangsarikan ke tanaman buah melon. Tanaman buah yang baru ditekuninya ini berkat dorongan sang Kades.
Bagi sebagian petani, menanam cabai di tanah Riau ini sulit. Petani harus berhadapan dengan cuaca kestrim dan bahkan asap. Apalagi tanaman cabai merah seperti yang dikembangkan Sumardi sangat manja. Terlalu sering hujan, batangnya terendam bisa mengakibatkan cabai busuk. Bila terlalu panas, cabai mudah terkena penyakit yang mudah menular. Bukan tidak pernah gagal, tapi Sumardi terus belajar dan terus berusaha.
”Kalau ditekuni tak ada yang sulit, karena keuntungan itu pasti ada. Banyak kawan-kawan petani, baru sekali mulai, kena penyakit gagal panen lalu berhenti. Memang harus bersiasat, karena cabai ini lebih sensitif. Banyak yang harus diperhatikan, seperti faktor cuaca, kabut asap dan curah hujan, semua harus diakali,” terang Sumardi ketika mengajak wartawan mengunjungi kebun cabainya.
Tidak begitu luas, lahan yang berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya itu hanya setengah hektar. Namun cabai ditanam dengan sangat teratur dan terawat. Persediaan air dan pupuk juga cukup di lokasi lahan milik Sumardi. Tanaman cabainya-pun bikin ngiler. Buahnya lebat dan terlihat sangat sehat. ”Makanya pedas Fortuner-nya,” celetuk Kades yang mendampingi kami.
Yang membuat hasil tani Sumardi yang kini sudah memiliki sejumlah pekerja, adalah melon. Sebelum cabai ditanam, di lahan yang sama lebih dulu ditanam melon yang usianya relatif pendek. Bukan tidak pernah gagal. Bahkan untuk melon, Sumardi pernah gagak panen hingga tiga hektar. Persoalan yang diahadapi Sumardi menurut Kades Sei Lembu Kawit, hampir sama dengan petani lain. Persoalan modal.
Sebelum mendapatkan bantuan hand traktor dari Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Kampar, Kawit menyediakan sendiri hand traktor untuk mendukung pertanian di desanya. Bahkan Kawit sendiri juga seorang petani.
”Uluran tangan pemerintah harus ditingkatkan. Tidak hanya soal peralatan modern tapi modal. Perlu diingat, petani kami punya harga diri kok. Mereka butuh bantuan modal tidak gratis, mereka akan mengembalikan pinjaman itu,” terangnya.
Kawit mengkaji kapasitas dan kemampuan para petani di kampungnya yang memang pekerja keras. Bahkan petani seperti Sumardi sudah memperkerjakan 10 orang buruh harian. Dirinya ingin, para petani di kampungnya lepas dari keterikatakan pada sawit yang harganya kerap melemah. Bahkan dirinya mendorong, sawit yang sudah ditumbangkan di Sei Lembu Makmur dapat dialihfungsikan menjadi kebun holtikultura.
”Kalau saya sebagai Kepala Desa kan hanya bisa menyemangati sebagai sesama petani tanaman buah dan sayur. Saya berharap mereka mau, apalagi kalau ada keringanan beban dari pemerintah. Saya berharap desa kami ini menjadi desa agro, menjadi desa sumber produks sayur dan buah. Karena permintaan produk holtikultura ini memang tidak pernah surut,” terangnya.
Para petani holtikultura di Sei Lembu Makmur kata Kawit, sudah sangat produktif. Namun untuk meningkatkan produksi, modal menjadi kendala terbesar. Menurutnya, untuk membuka lahan baru untuk tanam Melon dan tumpang sari tanaman Cabai, petani setidaknya butuh Rp60 juta. Biaya itu termasuk untuk penumbangan, pengolahan lahan dan penyediaan kayuk resak sebagai penopang pohon melon.
Lalu, tantangan besar lainnya adalah pemasaran. Sejauh ini menurut Kawit, pembeli hasil tani petani sudah ada. Tapi toke-toke yang datang membeli masih toke-toke itu saja, hingga tidak ada persaingan harga untuk keuntungan petani. Dirinya berharap ini juga mendapat dukungan dari pemerintah. Pemerintah diharapkan berperan lebih giat membantu pemasaran produk pertanian di Kabupaten Kampar.