BATU (auranews.id) – Ada dua kemungkinan penyebab penerbang paralayang, Cherly Aurelia (18) terjatuh hingga menyebabkan dirinya meninggal dunia.
Dua penyebab itu adalah kesalahan manusia (human error) atau kesalahan peralatan (mechanical error).
Usai tewasnya Cherly, pihak Federasi Aero Sport Indonesia (FASI) Jatim langsung menggelar konferensi pers di RS Bhayangkara Hasta Brata, Kota Batu, Selasa (12/6/2018).
Ketua Paralayang Jatim Arif Eko Wahyudi memimpin konferensi pers itu, dengan didampingi pengurus FASI Jatim, tim dokter, dan sejumlah instruktur paralayang, serta beberapa penerbang paralayang di Gunung Banyak.
Cherly Aurelia, gadis asal Desa Jatigedong Kecamatan Ploso Kabupaten Jombang ini terjatuh tak lama setelah take off dari Gunung Banyak Kota Batu, sekitar pukul 07.30 WIB.
Cherly terbang sendiri atau mandiri. Dalam aturan penerbangan paralayang, Cherly boleh terbang mandiri karena dia memegang lisensi paralayang PL (pilot) 1 atau basic.
Berdasarkan keterangan Arif Eko Wahyudi, lisensi terbang Cherly juga masih berlaku.
“Kami sudah cek ke FASI pusat, bahwa lisensi adik Cherly ini masih berlaku. Dan dia pemegang rating PL 1 dengan jam terbang PG 1418. Jadi dia boleh terbang secara mandiri,” ujar Arif.
Arif kemudian membeber kronologi jatuhnya alumni SMAN Ploso tersebut. Di akhir pekan ini, Cherly terbang di Gunung Banyak sejak Sabtu (9/6/2018).
Dia datang bersama rekannya, Mia Ainisyah (19) dengan diantar seniornya dari Jombang. Untuk berlatih di Gunung Banyak, Cherly hanya berdua bersama Mia.
Cherly mengasah keterampilan terbangnya, sedangkan Mia yang masih berstatus siswa paralayang lebih banyak berlatih di darat, atau dalam istilah paralayang latihan kering.
Hingga Senin (11/6/2018), Cherly sudah terbang beberapa kali. Untuk hari Senin (11/6/2018) saja, Cherly terbang lima kali.
Selasa (12/6/2018) pagi itu, merupakan penerbangan kali pertamanya di hari ini. Cherly terbang masih di bawah pengawasan senior. Ketika itu, ada seorang senior di lokasi take off, dan seorang lagi di lokasi landing.
Selain mengawasi Cherly, senior itu juga memberi pelatihan kepada Mia. “Sebagai seorang penerbang mandiri, dia bisa memasang peralatannya sendiri meskipun di bawah pengawasan senior,” ujar Arif.
Ketika semua peralatan terpasang, senior bertanya tentang kesiapan sang penerbang. Cherly melapor kalau dia siap terbang.
“Adik Cherly berkata semua sudah terpasang dan siap terbang,” tegas Arif.
Pernyataan itu menandakan kesiapan remaja itu untuk terbang seperti hari sebelumnya. Sebelum Cherly terbang, para penerbang di Gunung Banyak memantau kondisi angin dan cuaca.
Pagi itu, cuaca cerah dan angin juga berkecepatan 3 – 4 kilometer per jam. Cuaca dan angin mendukung penerbangan pagi itu.
Setelah semua siap, Cherly pun terbang. Parasut mengembang sempurna. Namun sekitar 2 – 3 menit, setelah Cherly take off, sayap parasut sebelah kiri ‘kolaps’ atau menutup.
Hal ini membuat parasut beserta penerbangnya jatuh. “Sayap parasut sebelah kiri ‘kolaps’, sehingga parasut mengalami full stall atau jatuh,” beber Arif.
Saat salah satu sayap parasut menutup, senior yang ada di lokasi landing, langsung menginstruksikan melalui handy talky supaya Cherly membuka parasut cadangan. Namun Cherly tidak bisa menjangkau parasut cadangan itu, sehingga tidak sampai terbuka.
Pihak kepolisian bersama tim Paralayang FASI Jatim langsung melakukan analisa. Analisa itu dari penuturan senior, kesaksian yang melihat, juga video yang mengabadikan terbangnya Cherly.
Dari analisa itu, jatuhnya parasut diduga karena tidak adanya daya angkat. Hal ini dikarenakan adanya beban yang menarik. Beban itu diketahui dari tubuh Cherly yang terlihat melorot. Melorotnya tubuh Cherly akibat dari tidak terpasangnya tali pengikat (strap) di dada dan kaki remaja itu.
Di paralayang, tali pengikat ini harus terikat di tiga tempat yakni dada, kaki dan tangan. Ketika itu, hanya di bagian tangan saja yang terpasang.
“Stap di bagian dada dan kaki tidak terpasang. Ini yang sedang kami investigasi lebih jauh. Apakah strap ini tidak terpasang saat sebelum take off, atau terlepas saat sudah terbang,” tegas Arif.
Arif menegaskan, petugas gabungan sedang menginvestigasi terlepasnya tali pengikat ini. Jika tali pengikat tidak terpasang sebelum take off, maka disebut sebagai kesalahan manusia atau human error.
Sedangkan strap terlepas saat di udara itu disebut kesalahan peralatan, yang bisa disebut sebagai produk gagal. Jika kasus kedua terjadi, maka penerbang akan melaporkannya dan produk itu bisa ditarik dari pasaran. Sebuah tali pengikat paralayang bisa terlepas di udara jika, tombol tertekan sebanyak dua kali secara bersamaan.
Akibat tubuh Cherly melorot, dia terjatuh dari ketinggian 100 meter. Tubuhnya terjatuh di kawasan hutan pinus di Songgoriti, Kota Batu.
Dari informasi yang dihimpun Surya, Cherly mengalami pendarahan di kepala. Tubuhnya ditemukan oleh beberapa warga yang sedang berladang di kawasan itu.
Warga mengevakuasi tubuh Cherly dari lokasi jatuhnya ke tepi jalan. Ada yang menyebut, Cherly sudah meninggal dunia ketika tubuhnya ditemukan warga.
Warga yang mendengar jatuhnya paralayang itu sempat mendengar teriakan ‘Allahu Akbar’ dari Cherly.
Nyawa Cherly tidak tertolong saat petugas kesehatan bersama ambulans tiba di tepi jalan tempat dievakuasinya tubuh Cherly. Jenazah Cherly kemudian dibawa ke Kamar Mayat RS Bhayangkara Hasta Brata Kota Batu. Sekitar pukul 15.45 WIB, jenazahnya dipulangkan ke rumah duka di Jatigedong, Jombang.
Sumber : SURYAMALANG.COM